Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Tolak Politik Praktis Kampus



TOLAK POLITIK PRAKTIS KAMPUS
Sudah bukan merupakan rahasia umum lagi bagi salah satu organisasi intern kampus yang sejalan dengan partai politik, bahkan merupakan emberio dari partai politik itu, maka yang di emban oleh salah satu organisasi intern kampus adalah masuk ke organisasi ekstern kampus baik ke LDK maupun LDF serta organisasi lainya. Fenomena ini terjadi hampir di seluruh kampus di indonesia, ketika kepentingan politik masuk kampus maka ada tujuan terselubung, entah itu kaderisasi partai ataupun tujuan terselubung dari sekenario yang utama, dengan alih-alih dakwah kampus, mahasiswa adalah kaum intelektual kaum terpelajaran apapun fenomena yang terjadi di kampus maupun di luar kampus maka mahasiswa cepat tanggap. hancurnya ke independenaan organisasi-organisasi kampus selama ini karena politik praktis terselubung. Sesungguhnya kita sebagai mahasiswa perlu melakukan revolusi kampus, mahasiswa tidak akan berhasil melakukan reformasi di negara ini,ketika kepentingan politik masuk ke kampus, maka jangan heran keberhasilan reformasi di pertanyakan.
Coba kita kembali kebelakangan tentu kita semua masih ingat hancurnya CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia )sebagai onderbow atau organisasi dalam lingkungan Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga jadi bulan-bulanan organisasi mahasiswa lainya seperti HMI, PMKRI, GMKi, PMII, karena sudah tidak sejalan lagi dengan prinsip organisasi mahasiswa. Sesungguhnya apapun partai politiknya tidak selayaknya melakukan intervensi terhadap kampus apalagi melakukan kaderisasi terhadap kampus, karena memang belum waktunya.Melihat fenomena terpecahnya kekuatan mahasiswa ,sesungguhnya Kita perlu menyadari dan mengembalikan kejayaan Mahasiswa serta melakukan reformasi kampus ketika kita hendak melakukan reformasi di negeri ini.
sesungguhnya tidaklah pantas jika kampus di katakan sebagai miniatur negara, ketika kampus sudah di anggap sebagai miniatur negara, seolah-olah kampus seperti negara, di mana adanya politik, di mana adanya intervensi, kalau di negarakita mengetahui adanya intervensi asing maka di kampus adanya intervensi partai politik(POLITIK PRAKTIS KAMPUS), sama , tetapi tidak selayaknya seperti itu. Mahasiswa serta organisasi mahasiswa tempat bermaungnya kader-kader bangsa yang telah terkontaminasi politik praktis kampus seolah-olah memisahkan jarak ataupun sesunggunya sengaja memisahkan jarak antar mahasiswalainya, karena ini memicu perpecahan di tubuh mahasiswa sendiri. Sesungguhnya kita sebagai mahasiswa harus mendekatkan jarak antar golongan, tidak peduli apakah dia HMI, KAMMI, PMKRI, GMKI, PMII, tidak peduli dia mahasiswi tidak berjilbab, jilbab pendek, maupun jilbab panjang, mahasiswa harus mempunyai satu payung yang kokoh, untuk menghindari terpaan badai politik.
Kampus layak dikatakan Laboratorium Negara,dan memang harus dikatakan sebagai Laboratarium Negara, karena di kampuslah tempat kaum intelektual diasah dan ditempa untuk mengubah masa depan bangsa yang lebih baik lagi. Mahasiswa merupakan agent, agent of development, agent of social control , agent of cange. ketika fungsi mahasiswa ini telah di nodai ,di cemari oleh oleh partai politik, maka fungsi kampus sebagi labor negara sudah berubah menjadi miniatur negara.
Bahwa menjadikan kampus, sebagai arena pertarungan kepentingan politik praktis akan mengakibatkan terpecah belahnya kekuatan mahasiswa sebagai sosial kontrol dan teraborsinya gerakan moral mahasiswa. Sungguh sangat memperihatikan Mahasiswa yang mestinya menjadi centre of excellence ternyata bermain mata dengan partai politik, sehingga kritisasi, ilmiah, dan wibawa kampus di grogoti, dan kita berharap jangan sampai ini adalah akhir dari independensi kampus.
Sekarang ini prosesi pergantian pucuk pimpinan organisasi intra-kampus rentan diwarnai politik praktis. Sebenarnya bukan tidak boleh berpolitik praktis. Mahasiswa, selaku individu, tentu boleh saja karena memang memiliki hak politik. Tetapi tidak boleh dilakukan jika mengatas namakan mahasiswa, terlebih organisasi kemahasiswaan.Sehingga Mahasiswa juga belum memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan yang memihak rakyat.
Ironisnya partai politik terus berupaya menggoda mahasiswa untuk memperkuat barisan partainya. Celakanya, sebagian aktivis mahasiswa ikut terbujuk masuk dalam pusaran politik praktis itu. Tentu dengan arguman agar cita-cita mahasiswa untuk perbaikan bangsa dapat tersalur melalui partai, atau mungkin sekadar jalan meretas karir politik bagi mahasiswa bersangkutan.
Sudah selayaknya mahasiswa berada pada barisan oposisi permanent pemerintah, sebagai control sosial masyarakat, sudah selayaknya mahasiswa membela kepentingan rakyat bukan membela partai politik , apalagi dengan bujukan alih-alih membela kepentingan masyarakan apalagi partai yang didukunganya berkuasa praktis mahasiswa dengan politik praktisnya tidak dapat kritis, sehingga letak wibawa , intekluatis, kritis mahasiswa di pertanyakan.
saya masih ingat sekali ketika debat dengan beberapan mahasiswa senior pada acara debat partai kampus dalam rangka pemilu raya kampus, dia mengatakan " tidak adanya salahnya bepartai politik ataupun politik praktis kampus yang saudara maksud toh tujuannya sama, yaitu untuk kemaslahatan bersama. Lagi pula, mahasiswa jika tidak berpolitik sama halnya tidak berperan!''kira-kira seperti itulah argumennya.
stetment mahasiswa senior yang menyatakan tidak begitu masalah dengan politik praktis itu bahkan saya anggap sebagai lelucon, karena menurut saya ada jalan yang lebih baik ketimbang mengekor pada partai politik dengan menjadi oposisi yang selalu kritis dan tak terbentur oleh ''ketentuan mengingat'' dari partai induk. Kalau pun sudah ngebet berpolitik, seyogianya tidak membawa-bawa nama mahasiswa. Mahasiswa adalah intelektual yang tidak boleh tercekoki kepentingan politis, baik langsung maupun tidak langsung. Terlintas dipikiran saya jika seandainya ada lembaga seperti MUI di kampus,mungkin saya akan mengharamkan politik kampus,karena ini merugikan genarasi-generasi kader bangsa .
Untuk kemajuan dan perbaikan bangsa, kita sebagai mahasiswa tidak selayaknya melakukan politik praktis. Sebab untuk memperjuangkan kaum akar ataupun mengugat ketidak adilan birokrasi dan sistem negara dapat dilakukan melalui demonstrasi jalanan, ataupun kalau ingin kelihatan ilmian boleh melakukan diolag dan wawancara pada media.
Mahasiswa terlalu berharga untuk di bawak kepanggung politik yang akhirnya menjadi lelucon kepentingan partai politik dan polituk-politikus yang mempunya kepentingan politis dan berhasi memanfaatkan jiwa kelabilan mahasiswa, sungguh sangat tragis dan menjadi lelucon bagi partai politik. selayaknya mahasiswa-mahasiwa sebagai kaum intekektual menyadari hal ini dan membebaskan dari jeratan belenggu partai politik.
ironis ketika mahasiswa setelah lulus dan siap dengan pradigama yang di perolehnyanya ketika berorganisasi hasil kritisme dan perang wacana siap terjun kedalam partai politik dan bergabung dalam sistem dan berupaya untuk mengubahnya .
Tetapi pada masa sekarang ketika ia berstatus sebagai mahasiswa ia tidak boleh lebur dalam sistem . Mahasiswa hanya bagian dari sistem yang diupayakan oleh suprastruktur untuk memperkuat sistem yang sudah ada. Di sinilah mahasiswa harus sadar posisinya dan selalu berusaha kritis.
Dalam hal ini, mahasiswa hanya dapat mengubah sistem jika ada dua syarat. Pertama, ada momen yang tepat untuk menggalang kesadaran rakyat atas ketidakadilan. Ini terjadi ketika mahasiswa berada dalam garda terdepan saat melengser Soekarno (1966) dan Soeharto (1998) dari tahta kepresidenan.
Kedua, mahasiswa lulus atau diwisuda, melakukan positioning yang tepat, masuk ke dalam sistem dan mengubahnya dari dalam. Dengan kata lain, bukan melalui politik praktis.
oleh ''alat legitimasi'' politis partai tertentu. Ya, ini memang kejelian partai itu dalam membidik mahasiswa sebagai cendekiawan muda bangsa yang nantinya diharapkan menjadi pionir dalam ranah gerak masing-masing.
Geliat masuknya politik praktis di kampus dapat kita lihat mulai dari keberadaan salah satu organisasi ekstrakampus yang sering sejalan dalam mengampanyekan isu yang sama dengan partai afiliasinya. Bahkan jargon, simbol, atribut dan ideologinya nyaris sama. Pada acara seminar, pembicara yang dihadirkan acapkali seideologi, bahkan menjadi pengurus partai tersebut.
Mereka pun antusias merebut kursi kepresidenan di level mahasiswa melalui organisasi intrakampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Melalui BEM inilah, mereka berupaya merapatkan diri dengan jajaran kampus, mengampanyekan jargon dan ideologi partainya, dan melakukan kaderisasi terhadap sejumlah mahasiswa.
korban utama gerakan ini adalah mahasiswa yang buta politik, yaitu silent majority mahasiswa. Mereka merasa bahwa BEM dan organisasi intrakampus mahasiswa lainnya tidak berpengaruh. Dengan memanfaatkan fanatisme buta mahasiwa awam tersebut pada fakultas atau jurusan masing-masing, kader partai yang telah ditanam di organisasi ekstra akan mencalonkan diri sebagai ketua BEM atau organisasi lainnya.
Terkecohlah mahasiswa awam. Maksud hati ingin mendukung calon yang diharapkan bisa memajukan fakultas atau jursannya, tetapi malah keliru memilih calon yang akan membawa kampusnya dalam pusaran politik praktis yang berbahaya.
Sementara mahasiswa yang masih setia dalam barisan oposisi permanen, para intelektual yang belum terkooptasi syahwat politis, dan siapa pun yang antipolitik praktis di kampus, tak berniat mengisi kursi pucuk organisasi mahasiswa intrakampus. Inilah kekalahan kalangan intelektual sejati.
Jika pun ada yang mencalonkan diri, mereka tidak memiliki strategi yang matang. Berbeda dengan mahasiswa yang sudah ngebet berpolitik praktis, yang telah menyiapkan strategisnya dengan baik. Termasuk masalah pendanaan, yang telah disediakan partai. Ini bisa dilihat dari mewahnya poster dan baliho kampanye mereka.
Konon di sekretariat partai politik tertentu telah dipetakan mana kampus yang telah dikuasai dan mana yang belum. Dengan naluri politik -bukan ilmiah- mereka menyusun strategi kampus mana lagi yang harus dikuasai, baik para mahasiswa maupun birokrasinya. Tanpa disadar, mereka telah membantu keruntuhan otoritas keilmuan di jantung ilmu itu sendiri, yaitu kampus.

Atas dasar itu, EPISENTRUM PENGKAJIAN ISLAM DAN RISET SOSIAL (EMPIRIS) MENYATAKAN:
MENOLAK TEGAS segala bentuk penetrasi kepentingan, kegiatan, maupun pemanfaatan fasilitas kampus, untuk kepentingan PARTAI POLITIK manapun.
-MENYERUKAN KEPADA ‘MASYARAKAT KAMPUS’ untuk melakukan pemboikotan dan pengusiran terhadap segala bentuk aktivitas kepartaian di kampus-kampus.
-MENGHIMBAU KEPADA ‘KAUM MAHASISWA’ untuk melakukan penolakan terhadap penetrasi kepentingan Parpol secara massif, dengan segala bentuk instrumen (birokrasi kampus) dan kelengkapan propagandis Parpol.
-MENDESAK KEPADA ‘PARA ELIT POLITIK’ untuk tidak melakukan siasat macam apapun agar dapat menancapkan kekuasaan hegemonik-tiraniknya ke tengah-tengah masyarakat kampus.